Nggak Ada Babak Extra Time! Wacana Baru

Nggak Ada Babak Extra Time! Wacana Baru di Liga Champions
Bayangkan laga besar. Lampu stadion menyala sempurna. Skor masih imbang di menit ke-90. Biasanya, kita akan duduk lebih dalam, merapatkan tangan, bersiap menyaksikan babak extra time—ruang waktu di mana legenda lahir dan tragedi tercipta. Tapi musim depan, bisa jadi detik-detik itu tinggal kenangan. UEFA sedang menggagas sebuah perubahan: perpanjangan waktu dihapus, adu penalti langsung digelar IDNSCORE.
Ketika Drama Diperpendek, Adrenalin Dipercepat
Menurut laporan dari media Jerman, Bild, UEFA berencana menghapus babak extra time di fase gugur Liga Champions musim depan. Alasan resminya terdengar sederhana, tapi sarat makna: demi kesehatan pemain. Mereka kelelahan, jadwal padat, dan kompetisi tak pernah berhenti.
Namun, dalam dunia yang selalu menuntut cepat, akankah ruang dramatis itu benar-benar layak dikorbankan? Atau jangan-jangan ini soal efisiensi, bukan empati?
Sepak bola, seperti hidup, tak hanya tentang menang atau kalah. Tapi tentang waktu-waktu tak terduga yang membuat semuanya lebih berarti.
Aturan Baru: Siapa yang Diuntungkan?
Perubahan tak berhenti sampai di situ. UEFA juga tengah mempertimbangkan skema lain:
Tim yang finis di delapan besar fase klasemen akan dapat jatah main kandang di leg kedua perempatfinal dan semifinal.
Pertemuan antar tim dari negara yang sama dilarang di perempatfinal, demi menghadirkan keberagaman duel dan menghindari “derby” yang terlalu dini.
Langkah ini seolah ingin menyulap Liga Champions menjadi tontonan yang lebih global, lebih terbuka. Tapi, tak sedikit pula yang mencium aroma kepentingan klub besar. Yang punya kekuatan finansial, pengaruh politik, dan daya saing di luar lapangan.
Perubahan Format: Bukti Sepak Bola Sedang Bergegas
Beberapa musim ke belakang, UEFA memang cukup agresif dalam merombak struktur Liga Champions:
- Gol tandang tak lagi punya nilai ganda. Padahal dulu, satu gol di markas lawan bisa mengubah nasib.
- Fase grup diganti dengan fase klasemen, menambah jumlah pertandingan, membuka peluang lebih besar bagi tim-tim elite.
Alasan utamanya tetap sama: kompetisi harus tetap menarik, pendapatan harus terus mengalir, dan layar-layar siaran tak boleh kehilangan tontonan.
Tapi di antara semua itu, yang kerap terlupakan adalah: pemain bukan mesin. Mereka bernapas. Mereka manusia.
Nggak Ada Dunia yang Terlalu Penuh, Waktu yang Terlalu Sempit
Pada Juni 2025, akan digelar Piala Dunia Antarklub dengan 32 tim. Format baru yang membuat kalender makin sempit, dan jeda makin semu. Dari satu turnamen ke turnamen lain, jeda hanyalah mitos.
Dalam konteks itu, UEFA mencoba berdamai. Mengurangi beban di satu sisi, meski menambah di sisi lainnya. Dan perpanjangan waktu jadi salah satu korban pertama dari kompromi itu.
Kita mungkin akan lebih sering menyaksikan adu penalti. Lebih cepat. Lebih ringkas. Lebih dramatis. Tapi juga lebih dingin. Karena tak ada lagi ruang untuk keajaiban menit 118, atau pelatih yang mengubah nasib lewat pergantian pemain terakhir di detik-detik akhir.
Nggak Ada Masih Wacana, Tapi Gelombangnya Sudah Terasa
Harus ditegaskan: semua ini masih wacana. Belum final. Tapi dalam sepak bola modern, wacana adalah awan yang segera turun jadi hujan. Dan hujan perubahan kadang datang tanpa aba-aba.
Pertanyaannya kini: apakah kita siap menerima Liga Champions tanpa extra time? Apakah kita siap kehilangan detik-detik yang biasanya melahirkan legenda?
Atau justru inilah wajah baru sepak bola: praktis, padat, dan tanpa basa-basi.
Perubahan bukan musuh. Tapi perubahan yang terburu-buru seringkali tak sempat bertanya: siapa yang benar-benar diuntungkan? Ketika wasit meniup peluit di menit ke-90, dan skor masih imbang, semesta dulu seolah memberi waktu lebih untuk bertarung. Tapi mungkin sekarang, sepak bola tak sedang mencari pahlawan. Ia hanya sedang mengejar efisiensi. Dan waktu, sekali lagi, jadi hal yang paling mahal di dunia yang terus berlari.