Meski Lolos ke Liga Champions! Ranieri Kekeh

Meski Lolos ke Liga Champions! Ranieri Kekeh Tak Lanjut Melatih!
Keputusan itu tidak digantung. Tidak juga diulur. Claudio Ranieri sudah menyimpulkan jawabannya jauh sebelum peluit akhir musim dibunyikan.
Ia memilih pergi, bahkan ketika kemungkinan untuk kembali ke panggung Liga Champions masih di depan mata IDNSCORE.
Dan di dunia sepak bola yang haus kemenangan dan rakus trofi, keputusan itu terasa janggal—atau mungkin, justru itulah satu-satunya kejujuran yang tersisa.
Tak Lagi di Pinggir Lapangan, Tapi Tetap di Dalam Rumah
Ranieri, 73 tahun, akan melepas jaket tebal pelatihnya di akhir musim 2024/2025. Tapi ia tidak benar-benar pergi. Ia akan tetap tinggal, bukan sebagai pengarah taktik, melainkan sebagai penasehat. Sosok bijak yang diam-diam menuntun dari balik tirai.
Dalam peran barunya nanti, ia tetap akan terlibat. Mencari pengganti dirinya sendiri. Mencari figur yang tepat untuk meneruskan napas Roma. Dan itu bukan keputusan ringan. Sebab memilih pelatih, sama seperti memilih arah: bisa membawa pada musim yang mekar, bisa juga mengantar pada musim yang membusuk.
Roma yang Kini Tak Terkalahkan
Angin musim semi belum habis, tapi Roma sudah mulai berlari cepat.
Dalam 18 pertandingan terakhir Serie A, mereka tak tersentuh kekalahan. Tiga belas kemenangan. Lima kali imbang. Laju ini bukan kebetulan. Bukan pula sulap.
Di bawah Ranieri, Roma menemukan ketenangan dalam permainan. Ketekunan dalam transisi. Dan kedewasaan dalam bertahan.
Kini, mereka ada di posisi keenam. Hanya terpaut dua poin dari zona Liga Champions. Empat besar ada di depan, bukan di langit, tapi di jangkauan.
Tapi Tetap, Ranieri Menolak Bertahan
Ironis? Mungkin. Roma sedang bangkit. Tapi sang arsitek memilih undur diri.
“Saya cinta tim saya,” katanya dalam wawancara. Kalimatnya pendek, tapi tak hampa.
“Tapi satu tahun lagi itu akan jadi kesalahan untuk Roma.”
Ini bukan tentang ketakutan gagal. Bukan pula karena usia. Ini soal tahu kapan harus berhenti. Soal seorang pelatih yang mengerti, bahwa mencintai klub juga berarti tahu kapan harus mundur.
Dan dalam dunia yang sering kali mengukur cinta dari seberapa lama kau bertahan, Ranieri justru menunjukkan bahwa kadang, kepergian adalah bentuk paling tulus dari cinta.
Empat Pertandingan Terakhir: Antara Mimpi dan Realita
Roma masih punya empat pertandingan tersisa. Dan semuanya penting. Terlalu penting untuk dianggap biasa.
Ranieri pun tak mengendurkan gas.
“Kami harus berjuang. Kami tidak boleh cari alasan,” tegasnya. Kalimatnya mengeras, tapi nadanya tak pernah meninggi.
Ia tahu, lolos ke Liga Champions bukan perkara keberuntungan. Bukan kisah dongeng seperti di Leicester.
Ini adalah ujian ketahanan, fokus, dan keinginan. Tiga hal yang hanya bisa tumbuh di ruang latihan, bukan di mimpi.
Meski Lolos Setelah Ranieri: Sebuah Babak Baru yang Harus Dimulai
Roma akan kehilangan sosok di pinggir lapangan, tapi tidak kehilangan kompasnya.
Dengan Ranieri tetap berada di dalam sistem, ada harapan bahwa proses regenerasi akan berjalan mulus. Ia tahu betul denyut ruang ganti. Ia paham karakter pemain. Dan yang terpenting, ia tidak punya agenda tersembunyi.
Di pundaknya, Roma akan menitipkan transisi. Dan itu, tak kalah penting dari kemenangan.
Meski Lolos Kesimpulan: Pergi Bukan Karena Lelah, Tapi Karena Selesai
Ada kalanya dalam hidup, kita tidak harus menunggu segalanya runtuh untuk pergi. Tidak harus kalah dulu untuk mengucap selamat tinggal.
Ranieri memilih undur diri saat timnya sedang naik. Sebuah keputusan yang hanya bisa diambil oleh mereka yang hatinya tenang, pikirannya jernih, dan ego-nya tertambat.
Roma mungkin akan lolos ke Liga Champions. Tapi Ranieri tetap akan pergi. Dan dengan itu, ia meninggalkan bukan hanya kursi panas pelatih, tapi juga pelajaran: bahwa dalam sepak bola, seperti dalam hidup, kepergian kadang lebih bermakna dari kemenangan.